Senin, 17 Oktober 2011

Drama Lala


BAHAGIA ITU??  
Ini tentang ceritaku. Entah kisah nyata atau sekedar ilusi belaka. Mengenai rasa sakit. Rasa sakit yang mungkin tidak ada akhirnya. Lala Kamila. Begitulah kedua orang tuaku memberi nama. Baguskah? Tapi apalah arti sebuah nama.
Di sebuah rumah yang sederhana, hiduplah keluarga yang terdiri dari seorang ibu, anak dan neneknya . Lala terduduk lesu. Dipandanginya seisi ruangan.
Lala : “Rumah sepi. Lala sendiri. Kemana semua orang? Mama, papa, nenek, kakek lala?”
            (terdiam sejenak)
Lala : “Disini hanya ada Lala. Sendirian. Apakah lala slalu sendirian? Kenapa?
            Terdengar suara langkah kaki terdengar dari arah dapur.
            Bi Minah : “Non Lala kenapa? Kok diem sendiri?”
            Lala        : “Lala kan udah biasa gini , bi. Dengan keadaan seperti ini. Bibi tau kan Lala slalu ditinggal mama untuk kerja. Dan papa.. Seperti apasih wajah papa Lala?”
            Bi Minah : “Papa Lala? Mmmmm, Tuan Sanjaya figur ayah yang baik. Dia welas asih, penyayang, dermawan pula.”
            Lala       : “Sungguh? Tapi kenapa papa ninggalin Lala? Salah Lala apa bik? Lala dulu nakal yah bik? Sampe papa ninggalin Lala sama mama? Bahkan sejak lala lahir, lala belom pernah lihat seperti apa wajah papa lala.”
            Bi Minah : “Non Lala, itu sudah kehendak yang diatas. Itu sudah takdir Tuhan. Ikhlas kan sajalah non. Mungkin ini yang terbaik buat non Lala.
            Lala        : “Tapi Tuhan itu jahat bik, buktinya lala dibiarkan seperti ini. Lala sampai ngga bisa ngerasain apa itu kasih sayang.”
            Bi Minah : “Kalau Tuhan ngga sayang sama non lala, ngga mungkin non lala sampe sekarang  diberi rejeki yang mencukupi, mama yang sayang sama non lala, nenek dan kakek yang..”
            Lala        : “Sudahlah bik, lala toh bakalan seperti ini. Merasa sendiri dan haus akan kasih sayang.”
            Bi Minah dan Lala berlalu meninggalkan ruangan
            Keesokan harinya Ibu Nina tengah sibuk membereskan berkas – berkas yang akan digunakannya nanti dirapat bisnis. Lala yang sedang mengerjakan pr ingin menanyakan beberapa soal yang dianggapnya rumit. Lala pun masuk kedalam kamarnya.

Lala                     : “Mama?”
Ibu Nina               : “Iya sayang..” (sambil membereskan berkas)
Lala                     : “Soal yang ini susah ma, lala ngga ngerti.”
Ibu Nina               : “Masak susah? Bukannya sudah diajarin? Kan ada dibuku paket.”
Lala                     : “Lala sudah cari ma, tapi jawabannya ngga ketemu.”
Ibu Nina               : “Coba aja dicari lagi, mama sibuk.”
            (Lala terdiam sejenak)
Lala                    : “Yaudalah ma, lala cari sendiri aja. Mama hati – hati yah dijalan.”
Ibu Nina              : “Iya sayang, maaf yah. Mama ngga bisa bantu. Nanti sepulang sekolah kamu ke tempat les nya dianter Bi Minah aja yah, mama ngga sempet. Lagi satu, nanti sore Nenek kamu datang dari Solo. Jadi nanti kamu ada temennya di rumah.”
Lala                    : “Iya ma,”
            Ibu Nina pun bergegas pergi ke kantor. Lala hanya bisa diam memandangi ibunya yang berjalan keluar melintasi ruang tamu menuju garasi . Lala pun kemudian berangkat menuju sekolah. Dijalaninya hari – hari sebagai pelajar. Terkadang lala merasa iri jika melihat teman – temannya yang diantar jemput orang tuanya. Iri melihat seorang ayah memeluk anaknya. Lala hanya bisa tersenyum miris melihat keadaannya sekarang.
            Sore harinya, nenek Melati pun datang dari Solo. Lala berlari kearah pintu masuk dan seketika itu memeluk neneknya. Nenek Melati pun menyambut dengan suka cita.
Lala                     : “Nenek apakabar? Lama ngga jumpa.”
Nenek Melati      : “Baik – baik saja. Lala sekarang sudah besar ya? Eiyaa, mama kamu mana?”
Lala                     : “Mama lagi sibuk kerja nek, cari nafkah buat sekolahnya Lala.”
Nenek                  : “Yasudahlah, kita tunggu saja sampai dia pulang.”
Lala                 : “Iya nenek..”
            Malamnya, Ibu Nina pulang kerumah.  Tersirat raut wajah lelah dan letih. Sangat kepayahan. Dilihatnya dimeja makan Lala dan Ibunya tengah menunggu. Ibu Nina hanya menyunggingkan senyum kepada Lala dan Nenek Melati.
            Usai makan malam, Nenek Melati mendatangi kamar Ibu Mina. Diketuknya pintu kamar.
Tok tok tok, tok tok tok ..
Ibu Mina          : “Silahkan masuk..”
Nenek Melati  : “Ibu ingin berbicara sesuatu hal denganmu.”
Ibu Mina          : “Apa bu?”
Nenek Melati  : “Kau tak lelah hidup sendiri? Sebagai single parent yang menafkahi seorang pendamping hidup?”
Ibu Mina          : “Sesungguhnya saya lelah, namun saya tidak pernah memikirkan hal itu. Lagipula saya tidak memiliki pendanmping hidup.”
Nenek Melati  : “Bagaimana dengan lelaki pilihan ibu? Dia duda beranak 1. Dan mapan.”
Ibu Mina          : “Tapi saya tidak punya waktu jika nanti dia menemuiku,”
Nenek Melati  : “Kau harus. Ibu tidak mau tau, kau jalani saja dengan dia. Ibu yakin setelah menikah kau akan punya waktu dengan anakmu.”
            Ibu Mina pun menyetujuinya. Diapun diperkenalkan dengan Pak Putra. Tanpa sepengetahuan Lala, Ibu Mina sering jalan dengan Pak Putra. Ibu Mina pun mulai menaruh hati dengan Pak Putra. Sampai suatu hari, ketika Lala sedang duduk dikamar, Ibu Minapun masuk kekamarnya.
Ibu Mina          : “Lala, mama mau bilang sesuatu.”
Lala                 : “Apa ma? Bilang aja..”
Ibu Mina          : “Mmmmm, mama mau nikah lagi.”
Lala                 : “Haahhh?? Sama siapa ma? Kenapa lala baru tau?”
Ibu Mina          : “Sama Om Putra, yang sering jemput mama dirumah. Maaf baru bilang sama lala. Gimana? Lala setuju kalau mama nikah lagi? Ini juga demi Lala. Suatu saat Lala pasti bakalan nikah dan bakal ninggalin mama. Mama Cuma ingin ada yang nemenin mama disisa akhir hidup mama nanti.”
Lala                 : “Haahh? Iyaa, Lala pasti setuju kok. Ini juga demi mama.”
Ibu Mina          : “Makasi sayang, lagi 3hari mama bakalan resmi jadi istrinya Om putra.
            Lala hanya bisa menyunggingkan senyum. Ibu Mina keluar dari kamar lala. Seketika itupun Lala menangis. Masih dalam rasa tak percaya,Lala tetap menangis. Kenapa mamanya seperti ini? Haruskah Lala menerima kenyataan yang membuatnya semakin sakit? Lala berharap ini hanya mimpi buruk.
            3 Hari berikutnya, Ibu Mina telah resmi menjadi istri Pak Putra. Pak Putra memiliki anak laki-laki bernama Pramana. Pak Putra dan anaknya tinggal dirumah Ibu Mina. Lala pun kini menjadi adik tiri Pramana. Awalnya semua membaik, tapi semua berubah saat Lala mulai mengetahui watak ayah serta kakak tirinya. Ketika itu diruang keluarga..
Pramana         : “Pa, pram butuh uang buat beli papan skate.”
Ibu Mina          : “Untuk apa beli papan skate?”
Pramana         : “Yaa untuk main skate-lah ma, itu hobby pramana. Ngga enak kalo minjem punya temen terus.”
Pak Putra         : “Iya, nanti papa belikan.”
Pramana         : “Pokoknya nanti pram mau belinya sama papa.”
Lala                 : “Lala ikut boleh?”
Pramana         : “Mending jangan ajalah la, tempatnya jauh. Lagian mayoritas cowok yang kesana. Besok deh jalan – jalan sama kakak.”
Lala                 : “Iya, besok yah.”
            Pak Putra dan Pramana bergegas pergi. Tanpa sepengetahuan Ibu Mina dan Lala, Pak putra sering menyisihkan uang gajinya untuk membelikan Pramana barang – barang yang diinginkan. Uang yag seharusnya digunakan untuk menafkahi anak istrinya malah digunakan untuk berfoya – foya. Sampai suatu ketika Pak Putra dan Ibu Mina bertengkar masalah uang.
Ibu Mina          : “Kamu kerja, penghasilanmuj berkecukupan. Tapi kenapa kamu jarang memberiku uang? Kamu kemanakan uang – uang itu? Tau gini, dulu aku harusnya tidak berhenti bekerja. Karna aku tau aku akan lebih sukses dibandingkan denganmu!”
Pak Putra         : “Apa kurang cukup uang yang slama ini aku berikan untukmu? Harusnya kamu bersyukur. Pantaskah kamu memaki suamimu seperti ini??”
Ibu Nina           : “Kamu tau, kita punya 2 anak. Disini ada aku, kamu juga pembantu kita. Kamu pikir kamu hanya seorang diri disini,hah?”
            Tiba – tiba datanglah adik Ibu Nina yang bernama Arif. Arif datang bersama Nenek Melati.
Nenek Melati  : “Apa yang terjadi? Mengapa kalian ribut begini. Kalian tidak malu jika anak – anak kalian mendengar hal ini?”
            Keadaan seketika hening, Arif memandang Putra dengan tatapan sinis. Nampaknya dia tidak senang melihat kakaknya menikah dengan lelaki itu. Nenek Melati menyudahi pertengkaran yang terjadi. Dia menenangkan keadaan. Datanglah Lala dan Pramana sehabis jalan – jalan. Nenek melati, Nina, Putra, serta Arif berlaku seolah – olah tak terjadi apa – apa.
Lala                 : “Om Arif?? Om Arif, lala kangen. Om apa kabar? Om sama nenek yah kesini?”
Paman Arif      : “Iyaa, mumpung om hari ini cuty.”
            Mereka punh berbincang – bincang. Melihat keluguan Lala, Arif tak kuasa ingin mengungkap rahasia yang slama ini dipendamnya selama bertahun – tahun. Dipikirnya, Lala harus tahu semuanya. Mengingat Lala kini tengah cukup dewasa.
            Ruang tamu kini telah sepi. Semua penghuni mulai istirahat dikamar masing – masing. Diam – diam Arif datang menemui Lala dikamarnya. Lala saat itupun akan beranjak tidur. Mendengar pintu kamar diketuk, Lala pun membuka.
Lala                 : “Om arif? Ada apa?”
Om Arif           : “Om Cuma ngga bisa tidur. Om pengen aja ngobrol sama Lala sekarang. Boleh kan?”
Lala                 : “Boleh kok, Om. Lala pasti dengerin.”
Om Arif           : “Sebenernya, ada suatu rahasia besar yang Om pendem slama bertahun – tahun. Mengenai orang tua mu.”
Lala                 : “Orang tua Lala om? Kenapa? Ada apa sebenarnya?”
Om Arif           : “Ini semua karena nenekmu. Dulu, mama kamu dijodohkan dengan papa kamu. Mama kamu adalah orang yang penurut. Sampai akhirnya mama dan papa kamu menikah. Nenek kamu slalu ikut campur dengan urusan rumah tangga mereka. Papa kamu tak tahan, sampai akhirnya dia meninggalkan rumah karena menentang nenekmu. Dia tidak meninggal, mungkin saat ini dia telah berkeluarga.”
Lala                 : “Kenapa om, kenapa.. Kenapa mama merahasiakan ini dari Lala? Salah Lala apa?????”
Om Arif           : “Mama kamu merahasiakan ini demi kebaikan kamu. Dia pikir kalo kamu tau kamu akan terluka.”
Lala                 : “Sekarangpun Lala terluka. Mama jahat sama Lala.”
Om Arif           : “Mengenai ayah tirimu, om takut akhirnya akan seperti ayahmu.”
Lala                 : “Lala benci keadaan seperti ini. Lala benci!!!!!!!”
Om Arif           : “Sudahlah Lala, om mengerti keadaanmu.”
Lala                 : “Lala minta sama Om, lala pengen tinggal sama om. Lala ngga mau sama mama ataupun nenek. Lala mohon, ijinkan lala tinggal bersama om.”
Om Arif           : “Baiklah kalau itu mau Lala. Biar om yang menjaga lala.”

            Sejak saat itu lala tinggal bersama pamannya. Om Arif kini telah memiliki istri. Kini Lala diangkatnya menjadi anak. Disanalah Lala menemukan kebahagiaannya..

Cerpen pertamaku


Dia Untuk Aku

“Aku heran sama kamu. Jelas – jelas kita udah ngga ada hubungan lagi. Tapi kenapa kamu harus slalu ada dideketku. Denger ya, ta. Aku ngga suka kamu deket sama sahabatku. Jangan buat aku benci sama kamu gara – gara ini. Aku ngga peduli kamu deket siapapun, asal jangan sahabatku!!”

Anyone, someone, help me out here.. !! Selalu aja kayak gini. Kisah cintaku selalu muter – muter, bolak – balik, n akhirnya mentok di kamu. Hhhhh, dunia emang sempit! Kenapa sich semua yang deket sama aku slalu ada hubungannya sama kamu??

Cukup lelah mengamati apa yang udah kutulis di selembar kertas orak orek.. Tunggu dulu, kertas orak orek?? Astagaaa!!! Aku lupa kalo sekarang sedang ulangan Trigonometri. Cepat cepat aku mengerjakan soal ulangan yang sebenarnya tidak kumengerti sama sekali. Yaah, daripada ngga buat sama sekali, seenggaknya ada usaha lah. Waktuku tinggal 5 menit lagi. Coba aja ada sebuah mukzijat yang datang menyelamatkanku dari ulangan ini, haah tapi itu cuma mitos! Si guru killer ngga berkedip sama sekali demi ngawas ulangan. So, ngga ada kesempatan buat aku lirik kanan lirik kiri. Pasrah ajalah dengan keadaan. Ngga terasa waktupun habis, tanpa ba-bi-bu lagi si guru killer udah narik kertas ulanganku n ngga ngebiarin aku buat ngerjain soal lagi dikiiiit aja. (sebenernya banyak sich. hehehe..).


Bel istirahat pun berbunyi. Saatnya makan, tapi aku enggan pergi ke kantin. Brenda datang menghampiriku.
“Gimana ulangannya ta, sukses kan??” tanya Brenda kepadaku.
“Sukses, sukses banget ngga bisa jawabnya. Gila yaa, soal 10 aku cuma bisa jawab 5. Itupun kalo bener.” jawabku.
“Hahaha. Sante aja ta, kita sekelas pasti remidi. Secara, matematika cuma Pak Buntarto aja yang ngerti. Ngajar sendiri,ngerti sendiri.” kata Brenda.
“Iyaa, aku udah sante kok bren, soal matematika aku remidi sich aku udah ngga kaget. Cuma ada masalah yang bikin aku sport jantung.” kataku.
“Apa’an ta? Cerita donk, cerita. Ayolah ta sama sahabat sendiri..” mohon Brenda.
“Ini lho bren, masalah Alvin. Aku udah putus lama sama dia..” kataku.
“Iyaa trus, masalahnya apa??” tanya Brenda bingung.
“Sekarang aku lagi deket sama seseorang, aku udah nyaman dengan orang tersebut. Tapi setelah di cek and ricek, orang itu ada hubungannya dengan Alvin. Sebut aja yah, Dimas. Dimas itu sahabat baiknya Alvin. Sebelumnya aku ngga tau kalau mereka sahabatan. Kalau aku ngejauhin Dimas karena tau dia sahabatnya Alvin, aku ngga mau. Dimas terlalu baik buat diperlakukan seperti itu. Sedangkan kalau aku ngga ngejauhin Dimas, aku bakal slalu ada dalam bayang – bayang Alvin. Aku harus gimana Brenda??” tanyaku dengan cemas.
“Gini yaah Meta Eta Marisha. Kamu udah SMA kan?? Udah bisa ngebedain mana yang baik dan buruk? So, semua jawaban itu ada di diri kamu sendiri. Aku sebagai sahabat cuma ngedukung kamu dari belakang. Apapun pilihanmu, itulah yang terbaik buat kamu, sahabatku..” jawab Brenda menenangkan ku.
“Tapi tunggu dulu. Heyy, Dimas itu siapa?? Kok kamu ngga pernah cerita??” tanya Brenda seolah – olah menginterogasi pencuri ayam.
“Hehehe. Ada dech, mau tau aja. Laper nich, makan yuk.” kataku beranjak pergi.
“Yeehh, ini anak ditanyain malah ngalihin pembicaraan. Pinter ngeles kamu yah, kayak bajaj. Etaaa.. tunggu .. !!!” teriak Brenda.
                                                            ***
Sebelumnya aku emang udah deket sama Dimas. Dia berbeda. Aku slalu nyaman deket dia. Dia sabar menghadapi aku yang keras kepala, dingin dan susah ditebak. Dimas incredible dah pokoknya. Bersamanya aku tenang, tanpanya aku gelisah. Jujur aja, aku cinta Dimas. Tak peduli dengan semua kekhawatiranku dulu bahwa dia hadir hanya untuk melukaiku demi membahagiakan sahabatnya. Iyaa , Alvin.

Aku sedang berbincang – bincang dengan Brenda. Seperti biasa, 2 piring batagor, 2 gelas orange jus dan 1 gorengan slalu menemani kami jika sedang ngobrol di kantin. Brenda Sagita. Sesosok perempuan manis, cerewetnya bukan main, lucu juga manis itu merupakan sahabat karibku sejak SMP. Hingga saat ini kami slalu bersama – sama. Tidak heran kalau banyak yang mengira kami itu saudara. Ditengah asyiknya kami mengobrol , handphone-ku bergetar.

From : Dimas
Ta, jam 7 aku tunggu km di pantai biasa. Aku pengen ngomong sesuatu. Penting nich. Dateng yah ta .. J

Deg deg , deg deg. “Kok aku jadi jadi sport jantung gini yahh?? Dimas kan cuma pengen ngomong sesuatu. Tapi apa yang mau dia omongin??” bathinku.

“Bren, Dimas ngajak aku ketemu. Dia mau ngomong sesuatu. Tapi apa yaah?? Aku harus pake baju apa nanti?? Trus aku harus harus dandan seperti apa?? Aku kan ngga bisa dandan. Ya ampun nervous banget nich , Bren.” kataku gugup.
“Huuuhh , huuhhh. Tarik nafas .. hembuskan. Tarik nafas lagi.. hembuskan. Hehehe. Ya ampun eta, ribet banget sich. Dimas itu ngajak kamu ketemu biasa, bukan mau kondangan.” kata Brenda sambil terkekeh.
“Kira – kira, Dimas mau bilang apa yah??” tanyaku pada Brenda.
“Iya mana ku tau, ta. Mungkin aja Dimas say “Love” to you.” kata Brenda.
“Apa bren? Kamu bilang apa barusan??” kataku bingung.
“Ohh, ngga ngga. Cuma angin lewat doang kok, ta. Hehe.” jawab Brenda gugup.
                                                            ***
Sesosok pria tinggi berdiri memandang deburan ombak yang menghantam karang. Tak asing dimataku, karena dia adalah Dimas. Semakin ku mendekat, perasaan ini tak menentu. Mendengar suara langkah kakiku, dia membalikkan badan. Menyunggingkan senyum simpul yang begitu khas.
“Eeehmm, udah lama nunggu??” tanyaku gugup.
“Ngga kok ta, aku juga baru dateng. Ada yang mau kujelasin ke kamu..” kata Dimas.
“Hhhhh, ok.mau bicara apa Dim?” jawabku dengan senyum memaksa.
”Aku Cinta Kamu, Meta. Ngga peduli kamu pernah jadi miliknya Alvin. Cintaku tulus. Kamu mau jadi pacarku?” kata Dimas meyakinkan.
Speechless! Sumpah speechless banget. Seneng banget. Serasa terbang kelangit ketujuh. Tanpa mengulur waktu, akupun menjawab. “Ya, dimas..”

Hari – hariku kini berbeda, tak sesuram dulu ketika aku hanya memikirkan 1 orang, yaitu Alvin. Tapi tidak untuk saat ini. Semakin lama aku semakin bisa membuka hati untuk orang lain. Aku yang typical orang yang suka berangan – angan mempercayai, bahwa cinta akan datang tanpa kita ketahui. Kita tidak bisa memprediksinya, kita hanya dapat merasakannya. Mungkin hanya beberapa orang yang mengerti apa yang tengah kurasakan kini. Bukannya aku cewek yang suka memilih, tapi apa yang bisa kupilih jika tidak ada pilihan? Aku hanya ingin mencari yang terbaik dari yang terbaik. Aku tidak pernah mengkotak-kotakkan manusia. Harus seperti ini, harus seperti itu, harus seperti yang ku mau. Bukan! Karena jika hatiku telah menuntunku pada satu hati, maka itulah cinta yang kumiliki sesungguhnya. Bukan atas fisik dan materi yang mereka punya, melainkan dengan kasih sayang tulus yang mereka berikan untuk kita. And you know what, I Love You just the way you are, Dimas ..


                                                                                                            MD ^_*